#1 Berkat Dirimu, Aku… (Grimgar)

Ia berdiri di hadapan sebuah batu putih di atas bukit, di tengah hujan deras yang berat, tapi masih bisa ditahan.

Ia tidak sendirian. Di belakangnya berbaris pria dan wanita dengan jubah putih.

“Rasanya seperti langit yang ikut menangis…” salah satu dari mereka berbisik. Ia menoleh, mencoba mencari siapa yang mengatakannya, tapi segera menyerah. Bisa saja siapa pun. Ia pun tak peduli. Tapi kalau begitu, kenapa tadi ia menoleh?

Pada batu putih itu terukir bulan sabit dan sebuah nama.

Kimura.

Klan-nya, Orion, kehilangan lima orang ketika merebut Gunung Nestapa. Sang priest, Kimura, dan sang warrior, Matsuyagi, gugur dalam pertempuran melawan Raja Lich. Thief, Tsuguta, berjuang membuka gerbang, tapi tewas di sana. Lalu, hunter Uragawa dan mage Tomida ikut terjebak dalam baku hantam ketika Sir Unchain memanggil Dark untuk membantu pasukan terpisah.

Menatap lima batu nisan di depannya, ia bertanya-tanya apa sebenarnya yang sedang ia lakukan di sini.

Pertempuran memang sudah berakhir. Dari pasukan mereka, hanya lima orang yang gugur, semuanya anggota Orion. Pasukan utama kehilangan tujuh puluh prajurit Pasukan Perbatasan. Namun, tiga puluh anggota Orion di bawah pimpinan Hayashi selamat seluruhnya. Dari Wild Angels, Iron Knuckle, dan Berserkers, hanya tiga prajurit relawan yang mati.

Operasi itu bisa disebut berhasil. Mereka memang gagal melenyapkan sisa-sisa Ekspedisi Selatan yang bersembunyi di kastil tua, tapi setidaknya mereka berhasil mengusirnya. Zan Dogran dan para orc mundur ke utara, sementara para kobold melarikan diri kembali ke Tambang Cyrene. Tidak jelas apa yang dilakukan para undead, tapi diduga sebagian besar ikut pergi bersama Zan Dogran.

Lima orang tewas. Kehilangan yang menyakitkan, tapi masih dalam batas yang bisa diperkirakan. Ia sama sekali tak pernah percaya mereka bisa merebut kastil tanpa kehilangan seorang pun. Entah ada yang gugur dari Orion, atau dari klan lain. Satu-satunya kematian yang harus dihindari dengan segala cara hanyalah dirinya sendiri. Selama ia tidak mati, semuanya tidak jadi masalah.

Dan keinginannya terkabul.

Kalau begitu, apa yang ia lakukan berdiri di depan makam orang-orang mati ini?

Secara rasional, ia paham. Ini adalah upacara yang perlu dilakukan. Rekan-rekannya telah gugur. Lima orang. Orang mati perlu dikenang. Ia harus menunjukkan rasa duka, maka ia mengajak para anggota yang selamat, menguburkan mereka yang mati, dan memberikan semacam pidato perpisahan. Apa yang sudah ia ucapkan? Ia sendiri sudah tak ingat. Beberapa anggota masih terisak atau saling merangkul bahu, jadi apa pun yang ia katakan pasti terdengar pantas.

Cukup. Aku sudah muak dengan ini. Sejujurnya, kalau ada satu hal yang paling kubenci dari kehilangan rekan, itu adalah keharusan untuk meratapi mereka setelahnya. Menyedihkan. Begitu mereka mati, ya sudah, hilang. Untuk apa lagi memikirkan seseorang yang bahkan sudah tidak ada? Kesedihan. Duka. Apa yang lebih sia-sia dari itu?

“Aku minta maaf,” katanya tanpa menoleh ke rekan-rekannya. “Bisa beri aku waktu sendiri?”

Ia tak bisa berkata terus terang, Kalian menyedihkan, enyahlah.

Rekan-rekannya pun pergi. Satu-satunya hal yang bisa ia syukuri dari mereka adalah bahwa mereka selalu melakukan apa pun yang ia perintahkan. Tentu saja, itulah yang ia ajarkan sejak awal. Apa gunanya punya rekan kalau mereka tidak bisa digerakkan layaknya tangan dan kaki sendiri? Kalau tidak, mereka hanya akan jadi beban.

Ia menunggu sampai semua benar-benar tak terlihat.

Sekilas ia menyapu pandangan ke bukit di sekitarnya. Tak ada siapa pun. Ia menyibakkan rambut basah kuyupnya, menghela napas panjang.

“Kali ini kau benar-benar kelewatan…” Entah kenapa ia sampai mengucapkan itu.

Matanya tertuju pada nisan.

“Kimura. Aku tidak pernah menyangka kau akan mati melindungiku. Itu konyol.”

Kimura pasti tahu kalau ia hanya dimanfaatkan. Tapi mereka sama-sama saling memanfaatkan, dan pada akhirnya… bukankah itu juga yang disebut persahabatan? Mudah sekali membayangkan Kimura yang akan berkata begitu. Dengan nada sopan palsu itu. Dengan tawa anehnya yang menjijikkan. Kimura selalu menjaga jarak dari orang lain dengan keeksentrikan yang dibuat-buat, sembari diam-diam mengawasi mereka. Dia punya ketajaman yang unik. Kalau diarahkan dengan benar, Kimura memang berguna.

“Aku sebenarnya berencana memeras lebih banyak lagi tenaga darimu. Walau sebodoh itu, kau sungguh peduli padaku. Aku yakin kau akan melakukan hal-hal yang tidak aku rencanakan. Mendapatkan informasi yang takkan pernah bisa kuakses. Tapi jika kutanya, kau pasti akan selalu memberitahuku. Kau masih berguna. Sangat konyol bahwa kau mati. Mati melindungiku. Apa kau kira aku butuh perlindunganmu? Aku tahu, kemungkinannya sebelas dua belas. Tapi aku bisa saja menahannya. Karena aku punya relik. Perisai pelindung, Guardian. Dan pedang pemenggal, Beheader. Selalu relik yang jadi kuncinya.”

Ia menatap ke arah Menara Terlarang.

“Sir Unchain. Ainrand Leslie. Orang itu—kalau memang bisa disebut ‘orang’—yang memiliki lebih banyak relik dibanding siapa pun di Grimgar. Salah satu dari lima pangeran, para tangan kanan No-Life King, yang katanya abadi tapi konon telah terbunuh. Dia bahkan punya relik layang-layang raksasa yang bisa terbang itu. Relik. Relik. Relik. Ia mengumpulkan relik, dan mengendalikan rekan-rekannya dengan itu. Yah, aku tak ada niat jadi budak iblis itu. Monster itu akan mencoba memanfaatkan aku, dan aku pun akan memanfaatkannya. Dalam satu sisi, kami setara. Tapi jelas tidak sungguh-sungguh. Pada akhirnya, bagi makhluk tidak biasa itu, baik relik maupun manusia hanyalah alat untuk dipakai. Yang penting adalah relik. Kimura. Kimura yang bodoh. Semua ini berkatmu. Andai saja aku bisa berkata begitu. Tapi kenyataannya, kau mati sia-sia. Bahkan kalaupun kau tak mati, aku tetap akan mendapatkannya.”

Ia membuka tangan kanannya yang sejak tadi terkepal.

Sebuah cincin terletak di telapak tangannya.

Lingkaran dan cakar pengikat batu itu terbuat dari logam agak kemerahan. Mungkin paduan emas dengan sesuatu yang lain. Batu yang dicengkeramnya sekilas mirip mutiara, namun pada saat bersamaan terlihat bening. Hanya bagian tengahnya yang keruh, berkilauan tanpa henti. Saat menatap ke dalam noda itu, ia merasa seolah tersedot masuk dan ingin segera mengalihkan pandangan. Tapi matanya tak bisa lepas.

“Kau tahu, selama ini aku juga mengira relik itu adalah sarung tangan. Siapa yang akan membayangkan sebaliknya, bukan?”

Raja Lich itu hancur menjadi debu, meninggalkan pakaian yang ia kenakan, sepatunya, mahkota, tongkat kerajaan, dan sarung tangan emasnya.

Sejak awal, pandangannya terpikat pada sarung tangan itu, tertarik oleh sesuatu yang terasa istimewa darinya. Ia teringat akan perkataan Ainrand Leslie: setiap relik memiliki energi khasnya sendiri. Apa pun bentuk kekuatan atau efeknya, energi itu akan selalu ada.

Ainrand Leslie menyebut energi itu sebagai “Eliksir.” Konon, bahkan ada relik yang bisa mengukur kadar Eliksir.

Apakah Eliksir yang memberi daya pada relik? Ataukah keberadaan reliklah yang menarik Eliksir berkumpul di sekitarnya? Apa pun jawabannya, secara garis besar, semakin kuat sebuah relik, semakin besar pula Eliksir yang dimilikinya. Relik sekali pakai akan kehilangan Eliksir setelah digunakan. Jika Eliksir entah bagaimana dicabut, maka sebuah relik akan berubah menjadi sekadar benda biasa tanpa kekuatan sama sekali.

Setelah cukup sering bersentuhan dengan relik, seseorang biasanya mulai bisa mengenali keberadaan mereka. Manusia agaknya memang punya kemampuan alami untuk merasakan Eliksir. Ia sendiri hanya bisa merasakan firasat samar bahwa ada yang berbeda, tapi orang lain bisa melihatnya sebagai cahaya, atau mencium aroma khas yang terpancar darinya.

“Aku begitu yakin itu adalah sarung tangan emas…”

Ia mengangkat sarung tangan itu, mencoba merasakan beratnya. Ia membawanya dekat ke wajah, menelitinya dengan saksama. Bahkan sempat diciumnya. Namun tetap saja, ia tak menemukan tanda yang ia cari. Itu harusnya sarung tangan emasnya. Tapi ada yang aneh. Ada yang berbeda. Saat mencoba mencari tahu apa yang meleset, ia perlahan membalikkan sarung tangan itu, mengguncangnya—dan terdengar bunyi. Sesuatu bergerak di dalam sarung tangan.

Ah, begitu rupanya. Bukan sarung tangan emasnya. Tapi sesuatu di dalamnya.

Tepat saat ia hendak mengeluarkan benda itu, Renji bertanya, “Apa yang kau rencanakan dengan benda itu?”

Renji pun mengira bahwa relik itu adalah sarung tangan emas. Tapi bukan hanya itu—Renji juga melihat tembus dirinya. Melihat bahwa ia berniat mengambil relik itu untuk dirinya sendiri. Dengan kekuatan tak terbatas ini, sang raja yang tak pernah tidur bahkan setelah mati telah membentuk pasukan dari pasir dan tulang, memerintah Pemakaman selama waktu yang tak terbayangkan. Atau lebih tepatnya, kekuatan inilah yang membuat raja itu tak bisa tidur meski telah mati. Seolah Renji bisa membaca bahwa tujuannya sejak awal memanglah mendapatkan relik tersebut.

Dia terlalu berbahaya, pikirnya. Seberapa banyak yang Renji ketahui? Aku tidak yakin. Tapi aku tak bisa bergerak terlalu terburu-buru selama ada orang seperti Renji yang mencurigai diriku. Dia berpengalaman, dan sebentar lagi akan berada di level yang sama dengan Souma atau Akira. Aku lebih suka tidak sampai berada di situasi di mana aku harus menyingkirkannya.

“Aku sempat sedikit berakting. Aku memang selalu pandai melakukannya. Lagipula, aku hampir selalu berakting setiap waktu.”

Ia menghancurkan sarung tangan itu tepat di hadapan Renji. Ada risiko relik di dalamnya ikut hancur. Tapi ia sudah memperkirakan ukurannya tak terlalu besar—mungkin sebuah cincin yang dulunya dikenakan Raja Lich di bawah sarung tangan. Berdasarkan arah bunyi itu, kemungkinan besar ada di jari tengah atau manisnya. Dari situlah idenya muncul. Ia yakin bisa melakukannya. Dan memang berhasil.

“Benar juga… Kematianmu tidak sia-sia, Kimura. Karena kau mati, aku bisa melakukan aksi itu dalam luapan amarah. Berkatmu, aku bisa menampilkan akting yang meyakinkan. Akting penuh emosi. Dengan kedok kesedihan, aku berhasil mendapatkan cincin ini.”

Ia menggenggam cincin itu erat-erat dalam genggamannya, lalu tersenyum.

“Bergembiralah, Kimura. Semua ini berkat dirimu.”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x